1.1
Arsitektur Tradisional
1.1.1
Pengertian tradisional
Tradisional erat kaitannya dengan kata “tradisi” yang berasal dari bahasa latin: traditio yang artinya “diteruskan”. Tradisi
merupakan suatu tindakan dan kelakuan sekelompok orang dengan wujud suatu benda
atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui fikiran dan
imaginasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang
didalamnya memuat suatu norma, nilai, harapan dan cita-cita tanpa ada batas
waktu yang membatasi.
1.1.2
Ciri
Arsitektur Tradisional
Mengingat norma, kaidah, dan tata nilai dalam masa kini
masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha mencari identitas budaya yang
dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan sebagai berikut. Arsitektur yang
mempunyai identitas yang sedikit atau tidak dipengaruhi oleh perubahan norma
tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional untuk diterapkan pada
bangunan baru.
Iklim merupakan faKtor yang tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena
letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan
maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana
mengakibatkan suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang
berkaitan dengan iklim yang panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak
terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding
tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi
yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort
dalam ruang. Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di
lindungi terhadap sinar matahari langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim
tropis.
Kita sering menggunakan air conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan
dengan tepat sebenarnya tidak memerlukannya. Energi yang diperlukan untuk air conditioning cukup besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan
hemat energi,
hendaknya penggunaan air conditioning
juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air habitation.
1.2
Arsitektur Tradisional
Bangka Belitung
Rumah Adat Provinsi Bangka Belitung.
Struktur bangunan rumah adat Bangka Belitung berbentuk
rumah panggung dengan atap rumah berbentuk limas. Masyarakat Bangka Belitung
biasa menyebutnya dengan Rumah Panggung Limas.
Menurut kebudayaan1.blogspot.com,
secara umum rumah adat Bangka Belitung terkenal dengan gaya Melayu Bangka-nya.
Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15 silam dan pada
perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa bahkan Cina.
Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter rumah
adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik
untuk disimak.
Komponen penyusun dari bangunan ini yang
dominasi terbuat dari kayu yang melambangkan kehidupan
yang penuh dengan kesederhanaan. Arsitektur Rumah adat Bangka Belitung dikenal
memiliki tiga 3 jenis yaitu
Arsitektur Melayu Awal, Arsitektur Melayu Bubung Panjang dan Arsitektur Melayu
Bubung Limas.
1.
Arsitektur Melayu Awal
Rumah Melayu
Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu, daun-daun,
akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap
yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia
juga dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan
yang banyak. Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan
juga rumah dapur.
Gambar 1.1 Rumah Melayu Awal
(sumber:
http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)
Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak dipermanis dengan cat dan semacamnya.
2.
Arsitektur Melayu Bubung Panjang
Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga
mengadopsi rumah Melayu Bubung Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan
bangunan di sisi badan rumah utama.
Gambar 1.2 Denah, Tampak, dan
Potongan Rumah Melayu Bubung Panjang
(sumber:
http://buildingconservation.blogspot.com/2007/08/lukisan-terukur-rumah-melayu.html)
Penambahan sisi
rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu seperti
Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang
diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung.
Gambar 1.3 Rumah Melayu Bubung
Panjang
(sumber:
http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)
3.
Arsitektur Melayu Bubung Limas
Sedangkan Arsitektur Melayu Bubung Limas bagian
atap rumah berbentuk limas karena ada pengaruh budaya dari palembang. Pada
umumnya rumah bubung limas dibangun oleh masyarakat Tionghoa.
Kebanyakan rumah
limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan
diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding,
pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka
digunakan kayu seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.
Gambar 1.4 Rumah Melayu Bubung
Limas
(sumber:
http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)
1.3
Bangka
Belitung
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
merupakan propinsi pemekaran dari Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000.
Ibukota propinsi adalah kota Pangkalpinang. Wilayah Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total luas
wilayah mencapai 81.725,14 km². Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km² atau
20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km² atau 79,9
persen dari total wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (ugm.ac.id)
Menurut larnokatro.blogspot.com,
wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari
Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang
menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707.
Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh
Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putrid Ki Ronggo udo,
yaitu penguasa Belitung sebelumnya.
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium
Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan
Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi
politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka
Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman.
Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama
Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang
lainnya.
Islam berpengaruh besar terhadap
perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh
penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita
lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari
raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut
peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta
lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir
di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami
pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang
puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang
justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan tersebut.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan tersebut.
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung
setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di
tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut,
akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup
signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai
sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang
lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ii memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ii memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam
memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat
kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas
beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti
perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah
melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku,
penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat
sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka
Belitung.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Perbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada kunjunga ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar