Senin, 21 Juli 2014

Arsitektur Tradisional Bangka Belitung


1.1              Arsitektur Tradisional
1.1.1        Pengertian tradisional
Tradisional erat kaitannya dengan kata “tradisi” yang berasal dari bahasa latin: traditio yang artinya “diteruskan”. Tradisi merupakan suatu tindakan dan kelakuan sekelompok orang dengan wujud suatu benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui fikiran dan imaginasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu norma, nilai, harapan dan cita-cita tanpa ada batas waktu yang membatasi.

1.1.2        Ciri Arsitektur Tradisional
Mengingat norma, kaidah, dan tata nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha mencari identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan sebagai berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional untuk diterapkan pada bangunan baru.
Iklim merupakan faKtor yang tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana mengakibatkan suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang berkaitan dengan iklim yang panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort dalam ruang. Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap sinar matahari langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.
Kita sering menggunakan air conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan tepat sebenarnya tidak memerlukannya. Energi yang diperlukan untuk air conditioning cukup besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energi, hendaknya penggunaan air conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air habitation.

1.2              Arsitektur Tradisional Bangka Belitung
Rumah Adat Provinsi Bangka Belitung. Struktur bangunan rumah adat Bangka Belitung berbentuk rumah panggung dengan atap rumah berbentuk limas. Masyarakat Bangka Belitung biasa menyebutnya dengan Rumah Panggung Limas.
Menurut kebudayaan1.blogspot.com, secara umum rumah adat Bangka Belitung terkenal dengan gaya Melayu Bangka-nya. Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15 silam dan pada perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa bahkan Cina. Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter rumah adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik untuk disimak. 
Komponen penyusun dari bangunan ini yang dominasi terbuat dari kayu yang melambangkan kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan. Arsitektur Rumah adat Bangka Belitung dikenal memiliki tiga 3 jenis yaitu Arsitektur Melayu Awal, Arsitektur Melayu Bubung Panjang dan Arsitektur Melayu Bubung Limas.

1.      Arsitektur Melayu Awal
Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu, daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak. Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur. 

Gambar 1.1 Rumah Melayu Awal
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)

Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak dipermanis dengan cat dan semacamnya.

2.      Arsitektur Melayu Bubung Panjang
Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama. 


Gambar 1.2 Denah, Tampak, dan Potongan Rumah Melayu Bubung Panjang
(sumber: http://buildingconservation.blogspot.com/2007/08/lukisan-terukur-rumah-melayu.html)

Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung.

Gambar 1.3 Rumah Melayu Bubung Panjang
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)

3.      Arsitektur Melayu Bubung Limas
Sedangkan Arsitektur Melayu Bubung Limas bagian atap rumah berbentuk limas karena ada pengaruh budaya dari palembang. Pada umumnya rumah bubung limas dibangun oleh masyarakat Tionghoa. 

Kebanyakan rumah limas luasnya mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Dinding, pintu dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan kayu seru. Setiap rumah, terutama dinding dan pintu diberi ukiran.

Gambar 1.4 Rumah Melayu Bubung Limas
(sumber: http://zonabangkabelitung.blogspot.com/2014/03/rumah-adat-provinsi-bangka-belitung.html)

1.3              Bangka Belitung

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan propinsi pemekaran dari Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000. Ibukota propinsi adalah kota Pangkalpinang. Wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut dengan total luas wilayah mencapai 81.725,14 km². Luas daratan lebih kurang 16.424,14 km² atau 20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km² atau 79,9 persen dari total wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (ugm.ac.id)

Menurut larnokatro.blogspot.com, wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putrid Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.

Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.

Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.

Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan tersebut.

Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.

Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut.  Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ii memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.

Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.

Perbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada kunjunga ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.









Senin, 27 Januari 2014

Photo Impressionistik: Rumah Joglo In The Making

Rumah Joglo in the making. Lokasi: Kaliurang, Yogyakarta.

National Grand Theatre, Beijing-China.

National Grand Theatre, Beijing-China.

Pada bulan Mei tahun 2013 lalu saya dan teman-teman kampus berkesempatan mengunjungi National Grand Theatre di Beijing. Lokasinya berdekatan dengan Forbidden City dan Tiananmen Square yaitu terletak di Chang'an Street. National Grand theater adalah gedung teater di Beijing yang mengkhususkan fungsinya pada pertunjukkan opera Beijing.

Bangunan ini didesain oleh Paul Andreu. Paul Andreu adalah arsitek dari Prancis yang juga mendesain bandara yang sangat akrab dengan kita yaitu; Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan desain Sukarno-Hatta pernah di jejerkan dengan bandara Paris yang terkenal, Charles de Gaulle Airport, yang juga di desain oleh arsitek Prancis yang sama, Paul Andreu.

Namun pada saat itu, waktu berkunjung ke National Grand Theatre yang disediakan untuk kami hanya sebentar. Maka saya dan teman-teman saya hanya dapat menikmati eksteriornya saja. Saat pertama datang saya dan teman-teman saya sudah terpukau dengan bentuknya seperti sebuah telur yang terbenam separuh bagian ke dalam air. Pantas saja bangunan ini disebut dengan “Gedung Telur” oleh penduduk Beijing. Kerangka gedung National Grand Theatre terbuat dari baja dan titanium, dengan kaca yang mengelilingi di setiap sudut bangunannya. Diletakkan diatas danau buatan dan didesain seperti mengambang diatas air.

National Grand Theatre dipuji karena rancangannya yang puitis, menggambarkan satu instrument tradisional Tionghua dan perwujudan filosofi Tionghua. Bangunan melambangkan kosmologi Tionghua dengan bulatan telur yang melambangkan langit dan danau buatannya yang persegi melambangkan bumi; Tian Yuan Di Fang 天地方 yang secara literal berarti langit seperti sebuah kubah menaungi bumi berbentuk persegi empat.

Uniknya, pintu masuknya berada tersembunyi dibawah permukaan tanah di sisi danau dan menyusuri lorong bawah tanah. Sayang sekali kami tidak berkesempatan untuk masuk ke dalam gedung. Namun kami tetap terhibur dengan desainnya menggabungkan banyak open space, green area di sekitar gedung yang mengingatkan kita pada alam sekitar. Danau buatan yang begitu besar sangat mempesona, gemericik airnya memberi kenyamanan untuk pengunjung. Air yang berada di sekitar gedung tersebut memantulkan bayangan gedung yang berbentuk setengah telur tersebut, bayangan ini jika diamati akan membentuk setengah telur juga. Nah, maka jadilah gedung seperti telur yang mengambang.

Konsep ini memang sengaja di buat karena bertujuan untuk menjadikan bangunan ini sebagai ikon bangunan modern di kota Beijing, dan Cina pada umumnya.


Referensi: http://cina.panduanwisata.com/beijing/bangunan-telur-raksasa-di-beijing/

Contertainer Taman Baca dan Poligigi Amin, Batu-Malang.

Taman Baca dan Poligigi Amin

Untuk memenuhi mata kuliah Penulisan Ilmiah semester 6 lalu, saya berkunjung ke Taman Baca dan Poligigi Amin di Batu, Malang. Tepatnya berlokasi di pintu masuk kawasan Jatim-Park 1 di Jl. Sultan Agung. Taman Baca dan Poligigi Amin adalah objek penilitian saya yang berjudul “Kajian Penerapan Material Kontainer sebagai Konstruksi Sustainable pada Taman Baca dan Poligigi Amin, Batu, Malang”.

Mengunjungi tempat ini sangat berkesan bagi saya, karena sangat jarang kita temui di sekitar kita bagaimana kontainer dapat disusun sedemikian atraktifnya sehingga kita yang melewatinya akan timbul rasa penasaran ingin mengunjunginya. Taman Baca dan Poligigi Amin sudah mencuri perhatian kita sejak awal karena warna kontainer-kontainernya yang berwarna-warni dan cerah. Lalu, tentu saja dari material andalannya sendiri yaitu kontainer yang sangat menarik. 

Seperti yang kita tahu, kontainer biasa digunakan sebagai wadah pengangkatan barang. Namun kini, kontainer juga dapat ditinggali karena sesuai dengan skala manusia dan dengan menggunakan kontainer kita telah mendapat dinding, lantai dan atap sekaligus. Hal tersebut tentu memudahkan pengerjaan konstruksi dan menghemat waktu sehingga dengan berbagai kelebihannya maka kontainer dengan treatment yang baik dapat kita sebut sebagai material yang sustainable. Bangunan kontainer biasanya menggunakan kontainer-kontainer bekas yang tersedia banyak di pelabuhan sehingga menggunakannya kembali sebagai bangunan adalah memberikan kehidupan kedua bagi kontainer-kontainer tersebut.

Taman Baca dan Poligigi Amin mengusung konsep contertainer. Dapat terlihat dari keseluruhan bangunan yang bersifat entertaining; warnanya, desainnya, dan ditambah lagi contertainer ini dapat dipakai bersama dan bebas biaya. Hal ini sesuai dengan harapan arsitek sendiri, Edwin Nafarin, yang menginginkan arsitektur dapat menyenangkan banyak orang.

Contertainer ini disusun atas 8 kontainer yang memiliki fungsi utama taman baca. Lantai dasar berfungsi sebagai poligigi dan menggunakan konstruksi konvensional. Dimulai dari lantai 1 lah kita dapat menikmati bangunan kontainer tersebut. Kontainer-kontainer tersebut terdiri atas kontainer 40 kaki dan 20 kaki dengan warna yang bermacam-macam, yaitu biru, hijau, merah, dan kuning.

Kontainer hijau berfungsi sebagai receiptionist, lalu ruang baca dipisah sesuai dengan genre buku yaitu kontainer kuning berfungsi sebagai ruang baca tata boga dan busana, kontainer biru untuk ruang baca hiburan dan umum, lalu kontainer merah sebagai ruang baca ilmu pengetahuan. Untuk ruang baca anak-anak tidak terbangun dari material kontainer.  

Setiap ruang baca banyak menggunakan pencahayaan alami dari jendela lebar di sisi-sisi kontainer sehingga pembaca mendapat cahaya yang cukup untuk membaca dan menghemat penggunaan lampu. Suasana yang tenang dengan view nuansa pedesaan membuat membaca semakin nyaman dan menyenangkan.

Hal menarik lainnya adalah dinding interior kontainerpun dihiasi lukisan/sticker menarik seperti orang yang sedang membaca bahkan ada rumus-rumus yang terlukis di dinding. Lalu kontainer merah berfungsi juga sebagai kanopi teras baca lantai 1 dengan mengekspos pile baja sebagai struktur penyangga kontainer merah pada eksteriornya.

Berkunjung ke Taman Baca dan Poligigi Amin akan memberi pengalaman yang berbeda dari sebuah kontainer. Lingkungan membaca sangat menyenangkan dan dapat dinikmati oleh siapa saja. Ide entertainer dalam kegiatan membaca yang sebenarnya beraktivitas statis merupakan ide yang baik sehingga pembaca tidak cepat jenuh dan ingin datang kembali untuk membaca. Semoga dengan pencitraan yang menarik dan lingkungan yang menyenangkan dari sebuah ruang baca dapat menarik minat baca anak-anak.